Malam
selepas isya, aku lihat dilangit tidak ada cahaya bulan. Ada perasaan aneh yang
tidak pernah aku rasakan sebelumnya, aku merasa takut, merasa
sunyi dan merasa
akan terjadi sesuatu pada diriku. Dalam kelelahan, itu tiba-tiba penyakit yang
telah lama kuderita seakan-akan datang mendekap tubuhku. Aku tak dapat berbuat
apa-apa, selain meminta kepada seluruh keluargaku untuk berkumpul dan
menemaniku malam itu. Karena aku merasa..., bahwa malam itu adalah malam yang
terakhir bagiku untuk mengembara di muka bumi ini. Dengan sisa-sisa keberanian
yang masih ada, aku tatap wajah lembut istriku, dan aku tatap wajah polos kedua
anaku. Setelah itu, barulah aku berkata kepada mereka; “Ketahuilah... bahwa kehidupan kita di muka bumi ini, pada hakekatnya
merupakan sebuah perjalanan amanah, yang tidak sedetik waktupun bisa terlepas
dari pengamatan Allah Adzawajallah. Saat ini kita tidak tahu, sudah sejauh mana
kaki kita melangkah. Saat ini kita tidak menyadari, sudah dimana kaki kita
berpijak. Dan saat ini kita tidak mengerti, tinggal berapa langkah lagi kita
memasuki pintu gerbang kematian kita sendiri”.
Mendengar
kata-kata itu anak-anak dan istriku langsung menangis. Istriku yang selama ini
aku manjakan dengan erat mendekap tubuhku, sedangkan kedua anaku secara
bergantian menciumi kedua pipiku. Aku mengerti perasaan mereka, walaupun mereka
tidak mengerti apa-apa yang aku rasakan. Dan dengan harapan yang masih tersisa,
aku lanjutkan perkataan yang belum selesai, “kalian bagiku adalah amanah. Dan amanah itu baru dapat aku tanggalkan
ketika aku dipaksa untuk keluar dari rongsokan tulang dan daging yang selama
ini aku tempati. Dan aku rasa...malam ini aku harus mananggalkan amanah itu...
maafkan bapak nak, maafkan bapak mah. Hanya sebatas itulah kemampuan bapak
didalam mengemban amanah yang telah diberikan oleh Allah kepada bapak”
Tangis
anak-anak dan istriku semakin menjadi. Sementara aku yang terbaring lemah,
hanya mampu menasehati agar mereka tabah jika malam itu aku arus pergi
meninggalkan mereka untuk selama-lamanya. Kematian merupakan sesuatu hal yang
mutlak harus dilewati oleh seluruh yang berjiwa. Aku harus merelakan semua itu
terjadi, karena memang aku tidak memiliki kemampuan untuk menolaknya.
Ketika
nafas hanya tinggal sedada, terbayang dalam ingatanku kisah Abu Khurairah r.a
yang menangis tersedu-sedu ketika Ia akan menghembuskan nafas yang terakhirnya.
Saat itu sahabat Abu Khurairah bertanya, “wahai
Aku abu Khurairah, apa gerangan yang membuat engkau menagis?”. Abu Khurairah
menjawab, “sungguh kematian itu merupakan pintu gerbang untuk melakukan
perjalanan yang teramat panjang, sedangkan bekal yang aku kumpulkan selama ini
hanyalah sedikit saja. Bagaimana aku dapat hidup tenang di alam sanah”
jawab Abu Khurairah seraya menatap kearah teman-temannya.
Demi
Allah wahai Tuhan, cerita itu memang bukan sandaran bagi hamba untuk mengarungi
kehidupan ini. Tapi...jika Abu Khurairah saja yang tercatat dalam lembaran
sejarah kesucian umat Islam sudah sedemikian takut menghadapi kehidupan setelah
mati. Apalagi dengan aku yang berlumuran dosa.
Dalam
kepekatan mata yang semakin kabur, disaat istriku dengan tulus melantunkan
ayat-ayat Allah disamping kananku, dan kedua anaku dengan ikhlas
mengumandangkan ayat-ayat illahi disamping kiruku, serta suara gemuruh surat
Yasin yang dibaca oleh orang-orang yang mengerumuniku. Tiba-tiba aku lihat ada
sesosok manusia datang menghampiriku. Ia melangkahi sanak saudaraku, ia
melewati istri dan anak-anaku, kemudian dengan tenang ia duduk dihadapanku dan
berkata ; Hendra... aku adalah malaikat
maut yang diutus Allah untuk menjemputmu. Kamu tidak akan bisa lari dariku,
walaupun seluruh manusia yang ada ditempat ini tidak menghendaki kehadiranku”
Ingin
rasanya aku menghindari mahluk yang perkasa itu, aku ingin berlari dan
berteriak menyampaikan kepada semua orang yang ada ditempat itu. Namun entah
mengapa semua itu tidak mampu aku lakukan, aku hanya menangis dan berteriak
memohon pertolongan dari Tuhan, dan dengan cepat mahluk itu mengambil aku dari
tubuhku, diiringi dengan ucapan “innalillahi wa inna illahi rojiun” dari
orang-orang yang menyaksikan aku telah keluar dari tubuh itu.
Aku
melihat istriku menangis tiada henti, aku lihat kedua anaku memeluk erat
tubuhku yang telah aku tinggalkan, dan aku lihat sanak saudaraku ikut menangis
seraya mendoakan kepergianku. Ingin rasanya aku membelai rambut isriku yang
selama ini telah terbukti kesetiaannya padaku,.mendampingiku kala sedih dan
bahagia, menyiapkan makanan yang aku sukai, dan menjadi penyejuk hati manakala
aku terjebak dalam persoalan hidup. Ingin rasanya aku mendekap tubuh kedua
anaku yang terus menangis tak mau aku tinggalkan, kedua anak manusia yang akan
melanjutkan garis keturunanku. Kedua anak manusia yang mampu menghilangkan rasa
lelah manakala aku terikat oleh banyaknya aktivitas kehidupan dunia. Namun aku
tak mampu, melakukan itu. aku hanya bisa memandangi mereka, dengan luka yang
tidak pernah aku rasakan sebelum ini.
Sambil
menangis aku saksikan tubuhku dimandikan oleh keluargaku. Sambil meratap aku
lihat tubuhku dibungkus oleh kain putih yang teramat bersih. Dan dengan
kehampaan aku tatap orang-orang mensolatkanku di mesjid yang biasa aku gunakan
shalat sebelumnya. Ingin rasanya aku kembali masuk kedalam tubuh yang telah
kaku itu, namun apa daya aku tak kuasa, karena hak aku untuk menempati
rongsokan tulang dan daging itu sudah berakir tatkala Allah mengutus sang
malaikat maut-Nya. Yang membuat aku merasa tenang saat itu adalah ketabahan
istriku, dan keiklasan kedua anakku, yang walaupun kedua matanya telah bengkak
oleh air mata, namun hati dan bibirnya tanpa putus mengagungkan nama Allah, dan
meminta-Nya untuk menempatkanku dikehidupan yang baik.
Gemuruh
suara tahlil mengantarku memasuki sebuah ambulan putih, kemudian ambulan itu
melaju dijalanan aspal yang hitam. Aku dipaksa menuju kesebuah tempat, yang
selama ini menjadi tempat aku merenung dan menghantar jika ada keluarga atau
sahabat yang telah mati.
Dikuburan
yang aku takutkan, nampaklah sebua lubang yang telah disiapkan sebelumnya, aku
berteriak tatkala tubuhku dimasukan ke lubang itu, kemudian aku ditutup
beberapa papan yang menakutkan. Orang-orang tak ada yang mendengar teriakanku
yang meminta mereka untuk tidak menutupi tubuhku dengan tanah merah yang ada
diatasnya. Aku lihat istriku menatapku untuk yang terakhir kalinya, anaku yang
perempuan memegang erat tubuh istriku yang lemah, sedangkan anaku yang
laki-laki dengan tegar mengumandangkan suara adzan di telingaku, walaupun
suaranya merdu, namun aku menangkap ada tangisan diantara napas yang ia
rasakan. Taklama berselang, orang-orang menurunkan tanah merah kearah tubuhku,
kemudian mengeraskannya dengan injakan-injakan lembut, hingga aku kini tidak
mampu melihat lagi cahaya matahari, karena yang aku lihat hanyalah kegelapan
yang sangat pekat, jangankan untuk melihat orang lain, untuk melihat jari
jemariku saja mataku tak mampu.
Kini
aku betul-betul yakin, bahwa janji Allah itu benar, kematian itu memang akan
datang, dan kita masih hidup ketika orang-orang mengatakan kita telah mati. Aku
sendirian di tempat gelap, diantara tumpukan tanah merah bertabur bunga. Aku
berteriak ketakutan, sementara orang-orang malah pergi meninggalkanku, hingga
tiba-tiba hp yang ada di saku bajuku berdering keras. Dan....ternyata deringan
itu berasal dari istriku yang mengirim pesan
“Yang Maha Sempurna telah
menciptakan yang sempurna. Yang Maha Perkasa telah menciptakan yang perkasa,
Selamat Ulang Tahun, pah,, papah sedang apa sekarang?”
Aku
tersenyum dan bersyukur kepada Allah, karena ternyata kejadian itu hanyalah
perjalanan jiwa saat Allah sedang mendidik hamba-hamba-Nya. Aku masih mampu
membelai lembut rambut istriku, aku masih dapat bercengkrama dengan kedua
anaku, dan aku masih bisa membalas sms dari istriku tadi.
.
“Aku tak ingin melangkah dalam kegelapan
malam seperti malam itu, tapi aku ingin melangkah dalam terangnya
siang seperti pada waktu siang ini.
Di
akhirat memang tidak ada cahaya matahari, tapi aku yakin, cahaya yang lebih
kemilau akan menyinari jalan bagi setiap hamba yang dicintai-Nya.
Dialah
Allah yang telah menciptakan seluruh cahaya. Cahaya di bumi dan di langit,
serta cahaya di akhirat yang akan kita lewati nanti.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar