Laman

Sabtu, 27 Oktober 2012

KEMATIAN 2


Seminggu dari setelah aku dipaksa untuk keluar dari tubuhku. Terkubur didalam sebuah lubang yang sempit dan gelap. Bertabur
bunga dan doa-doa dari seluruh sanak saudaraku. Aku takpernah lagi memaksa mata ini untuk terpejam, karena hati telah bercerita tentang matahari yang tenggelam abadi, tentang cahaya rembulan yang tidak mampu menembus tempat pembaringanku, dan tentang cahaya kunang-kunang yang setiap malam menghiasi pemakamanku.
Dimalam jum’at itu aku mendapat ijin untuk menemui anak-anak dan suamiku. Aku melangkah menembus gelapnya malam, melewati jalanan yang sunyi dan hening, hingga sampai didepan sebuah rumah yang dulu menjadi tempat aku menuai kebahagiaan bersama anak-anak dan suamiku. Aku tertegun sejenak, tatkala aku mendapatkan suamiku sedang termenung di beranda depan. Wajahnya begitu pucat dan lemah, serta tubuhnya terlihat agak kurus dan kurang tenaga. Ia menatap cahaya bintang yang terhalang awan, membiarkan tubuhnya terkuliti oleh hembusan angin yang menusuk tulang.  Aku lihat ia menatap bunga mawar yang sengaja aku tanam dulu, sambil sesekali menghapus air mata yang menggurat kedua pipinya.“pah…aku disini pah, disamping papah” bisiku sambil duduk disampingnya.
Namun ia tidak menghiraukan kedatanganku, karena memang saat itu aku hanyalah segurat Ruh yang sesaat sesat sedang mendapat ijin untuk bertemu dengan keluargaku. Ingin rasanya aku mendekap erat-erat tubuh suamiku yang terus termenung, namun aku tidak mampu, karena memang aku dan dia saat ini sudah berbeda bentuk.
Dengan hati penuh kerinduan aku masuk kedalam rumah. Namun hatiku semakin hancur saat melihat anak-anaku sedang berkumpul di ruang tengah, sambil memperhatikan potoku yang masih tersimpan di dinding, tersenyum kearah mereka yang berlinang air mata. “kak.., kapan mamah pulang yah kak?” Tanya anaku yang paling kecil kepada kakaknya. “mamah nda akan pulang de, mamah saat ini sedang tertidur dipangkuan Allah” jawab anaku yang paling besar sambil meraba-raba potoku. Mereka kemudian duduk dalam sunyi, kemudian menangis terisak sambil tetap memandangi potoku yang sedang menatap kearah mereka.
“ya Allah… ijinkan aku menghentikan tangisan mereka ya Allah, ijinkan aku memeluk mereka” kataku seraya menangis sejadi-jadinya.
Taklama berselang suamiku masuk kedalam rumah, ia membelai seluruh anak-anaku dengan penuh kasih sayang, kemudian mengajak mereka untuk membaca ayat-ayat suci Al-Qur’an, dan mendoakanku agar bahagia di tempat kehidupanku yang baru.
Aku menghapus air mata kepedihan, terlebih saat aku melihat suamiku mengajak anak-anaku shalat sunat berjama’ah. Kemudian melantunkan ayat-ayat suci, yang terdengar sangat merdu dan menyejukan kegelisahanku. “pah..mamah sayang papah… mamah juga sayang sama kalian nak, namun mamah sekarang tidak mampu mendekap kalian… maafkan mamah yah” kataku sambil pergi meninggalkan mereka, meninggalkan ruangan itu, meningalkan rumah kenangan itu, untuk kembali memasuki sebuah lubang sempit dan gelap gulita.

Setahun kemudian…

Aku kembali mendapat ijin untuk menemui keluargaku. Kerinduan yang memuncak telah membuat aku berlari sekencang-kencangnya. Yang ada dalam hatiku saat itu, hanyalah ingin melihat anak-anak dan suami yang aku cintai.
Namun betapa kagetnya saat aku dapati rumahku sunyi dan sepi. Aku tak melihat lagi potoku yang dulu menghiasi dinding ruang keluarga. Aku hanya mendapati anak-anaku sedang tertidur pulas di atas tempat tidurnya masing-masing. “nak.. bangun nak, ini mamah datang… dimana papah?” tanyaku pada anak-anaku yang tetap tiada menjawab.
Taklama berselang aku dengar ada sebuah mobil memasuki pekarangan rumah. Dengan perasaan rindu aku cepat berlari keluar, aku ingin melihat suamiku, aku ingin memeluknya, dan melepas rasa rindu yang sudah sekian lama mengisi hari-hariku.
Namun betapa terkejutnya aku, ketika aku melihat seorang perempuan keluar dari mobil itu, dan memanggil papah kepada suamiku. Ingin rasanya aku melampiaskan marah kepadanya,, karena dia sudah merebut suamiku dari pelukanku. Tetapi tiba-tiba tubuhku seperti tertahan, manakala ibuku datang dan menghalang-halangi kemarahanku.
“nak… jangan marah pada perempuan itu, karena dia adalah istri dari bekas suamimu. Jangan marah pada bekas suamimu, karena dia berhak mencari istri setelah engkau meninggalkan dunia ini” kata ibuku seraya menahan amarahku. “itulah sebabnya agama telah mengajarkan kepada kita, bahwasannya, berikanlah cintamu sebesar-besarnya kepada Tuhanmu, karena Tuhan adalah satu-satunya Sang Pemilik cinta yang suci. Anak-anak yang engkau cintai, perlahan-lahan akan melupakanmu ketika engkau sudah mati. Suami yang engkau kasihi memiliki hak untuk mencari istri lagi ketika engkau sudah meninggal dunia. Harta yang engkau kumpulkan dengan susah payah, ternyata kini digunakan oleh orang lain. Tetapi Allah tetap akan mencintaimu, selama engkau mencintai-Nya juga”. Lanjut ibuku sambil mengajaku pulang  menuju kepusaraku.

Tidak ada komentar: