Seminggu
dari setelah aku dipaksa untuk keluar dari tubuhku. Terkubur didalam sebuah
lubang yang sempit dan gelap. Bertabur
bunga dan doa-doa dari seluruh sanak
saudaraku. Aku takpernah lagi memaksa mata ini untuk terpejam, karena hati
telah bercerita tentang matahari yang tenggelam abadi, tentang cahaya rembulan
yang tidak mampu menembus tempat pembaringanku, dan tentang cahaya kunang-kunang
yang setiap malam menghiasi pemakamanku.
Dimalam
jum’at itu aku mendapat ijin untuk menemui anak-anak dan suamiku. Aku melangkah
menembus gelapnya malam, melewati jalanan yang sunyi dan hening, hingga sampai
didepan sebuah rumah yang dulu menjadi tempat aku menuai kebahagiaan bersama
anak-anak dan suamiku. Aku tertegun sejenak, tatkala aku mendapatkan suamiku
sedang termenung di beranda depan. Wajahnya begitu pucat dan lemah, serta
tubuhnya terlihat agak kurus dan kurang tenaga. Ia menatap cahaya bintang yang
terhalang awan, membiarkan tubuhnya terkuliti oleh hembusan angin yang menusuk
tulang. Aku lihat ia menatap bunga mawar
yang sengaja aku tanam dulu, sambil sesekali menghapus air mata yang menggurat
kedua pipinya.“pah…aku disini pah,
disamping papah” bisiku sambil duduk disampingnya.
Namun
ia tidak menghiraukan kedatanganku, karena memang saat itu aku hanyalah segurat
Ruh yang sesaat sesat sedang mendapat ijin untuk bertemu dengan keluargaku.
Ingin rasanya aku mendekap erat-erat tubuh suamiku yang terus termenung, namun
aku tidak mampu, karena memang aku dan dia saat ini sudah berbeda bentuk.
Dengan
hati penuh kerinduan aku masuk kedalam rumah. Namun hatiku semakin hancur saat
melihat anak-anaku sedang berkumpul di ruang tengah, sambil memperhatikan
potoku yang masih tersimpan di dinding, tersenyum kearah mereka yang berlinang
air mata. “kak.., kapan mamah pulang yah kak?” Tanya anaku yang paling kecil
kepada kakaknya. “mamah nda akan pulang de, mamah saat ini sedang tertidur
dipangkuan Allah” jawab anaku yang paling besar sambil meraba-raba potoku.
Mereka kemudian duduk dalam sunyi, kemudian menangis terisak sambil tetap
memandangi potoku yang sedang menatap kearah mereka.
“ya
Allah… ijinkan aku menghentikan tangisan mereka ya Allah, ijinkan aku memeluk
mereka” kataku seraya menangis sejadi-jadinya.
Taklama
berselang suamiku masuk kedalam rumah, ia membelai seluruh anak-anaku dengan
penuh kasih sayang, kemudian mengajak mereka untuk membaca ayat-ayat suci
Al-Qur’an, dan mendoakanku agar bahagia di tempat kehidupanku yang baru.
Aku
menghapus air mata kepedihan, terlebih saat aku melihat suamiku mengajak
anak-anaku shalat sunat berjama’ah. Kemudian melantunkan ayat-ayat suci, yang
terdengar sangat merdu dan menyejukan kegelisahanku. “pah..mamah sayang papah…
mamah juga sayang sama kalian nak, namun mamah sekarang tidak mampu mendekap
kalian… maafkan mamah yah” kataku sambil pergi meninggalkan mereka,
meninggalkan ruangan itu, meningalkan rumah kenangan itu, untuk kembali
memasuki sebuah lubang sempit dan gelap gulita.
Setahun
kemudian…
Aku
kembali mendapat ijin untuk menemui keluargaku. Kerinduan yang memuncak telah
membuat aku berlari sekencang-kencangnya. Yang ada dalam hatiku saat itu,
hanyalah ingin melihat anak-anak dan suami yang aku cintai.
Namun
betapa kagetnya saat aku dapati rumahku sunyi dan sepi. Aku tak melihat lagi
potoku yang dulu menghiasi dinding ruang keluarga. Aku hanya mendapati
anak-anaku sedang tertidur pulas di atas tempat tidurnya masing-masing. “nak..
bangun nak, ini mamah datang… dimana papah?” tanyaku pada anak-anaku yang tetap
tiada menjawab.
Taklama
berselang aku dengar ada sebuah mobil memasuki pekarangan rumah. Dengan
perasaan rindu aku cepat berlari keluar, aku ingin melihat suamiku, aku ingin
memeluknya, dan melepas rasa rindu yang sudah sekian lama mengisi hari-hariku.
Namun
betapa terkejutnya aku, ketika aku melihat seorang perempuan keluar dari mobil
itu, dan memanggil papah kepada suamiku. Ingin rasanya aku melampiaskan marah
kepadanya,, karena dia sudah merebut suamiku dari pelukanku. Tetapi tiba-tiba
tubuhku seperti tertahan, manakala ibuku datang dan menghalang-halangi
kemarahanku.
“nak…
jangan marah pada perempuan itu, karena dia adalah istri dari bekas suamimu.
Jangan marah pada bekas suamimu, karena dia berhak mencari istri setelah engkau
meninggalkan dunia ini” kata ibuku seraya menahan amarahku. “itulah sebabnya
agama telah mengajarkan kepada kita, bahwasannya, berikanlah cintamu
sebesar-besarnya kepada Tuhanmu, karena Tuhan adalah satu-satunya Sang Pemilik
cinta yang suci. Anak-anak yang engkau cintai, perlahan-lahan akan melupakanmu
ketika engkau sudah mati. Suami yang engkau kasihi memiliki hak untuk mencari
istri lagi ketika engkau sudah meninggal dunia. Harta yang engkau kumpulkan
dengan susah payah, ternyata kini digunakan oleh orang lain. Tetapi Allah tetap
akan mencintaimu, selama engkau mencintai-Nya juga”. Lanjut ibuku sambil
mengajaku pulang menuju kepusaraku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar